N-L-P, demikian ejaan
tiga huruf biasa yang hingga kini masih hangat dibicarakan di berbagai kalangan
California. NLP bukanlah password, PIN, atau sandi jitu untuk membobol gubuk dollar.
NLP bukan pula nama penyakit saraf yang mampu melumpuhkan pengucap atau
pendengar kata itu. NLP merupakan keyword atau singkatan ringan yang
merujuk pada istilah Neuro Linguistic
Programming.
Meski
ringan, bukan berarti bahwa NLP tidak berperan apa-apa bagi penggunanya. Justru
setelah belajar NLP, tidak sedikit pelajar yang mengelu-elukan manfaat NLP.
Bahkan, tidak jarang di antara pelajar-pelajar itu rela memberikan hadiah
khusus bagi pembimbingnya (coach) setelah puas dengan apa yang diperolehnya.
Dalam
dunia bisnis, misalnya, NLP dapat membantu terjalinnya komunikasi yang
berkualitas, baik dalam perusahaan itu sendiri maupun relasi bisnis dan
konsumen produk. Begitu juga dalam dunia pendidikan dan keluarga, seorang
pendidik atau orang tua dapat memahami bagaimana cara mengajar siswa-siswi atau anaknya
sendiri tanpa menimbulkan masalah-masalah yang dapat menghambat berlangsungnya
transformasi keilmuan.
Sejarah NLP
Semula, Richard Bandler tidak pernah membayangkan suatu saat
akan muncul istilah NLP yang kini terkenal dan dipelajari jutaan bahkan
miliaran orang dari berbagai penjuru dunia. Pasalnya dalam kesehariannya
sendiri, mahasiswa University of Santa Cruz, California ini hanya akrab dengan
hal-hal yang terkait ilmu computer dan fisika.
Hingga
akhir tahun 1970-an, Bandler yang sudah menyelesaikan pendidikan formalnya itu
pun belum sadar bahwa dirinyalah yang kelak dicatat dunia sebagai pencetus NLP
pertama.
Memasuki
tahun 1972, Bandler mulai merasakan adanya ilmu baru yang mampu mencuri
perhatiannya, selain ilmu computer dan fisika. Sosok pecinta ilmu pemrograman
komputer itu mencium adanya keunikan dari teman-temanya di bidang psikologi.
Bermula dari keunikan itulah, Bandler semakin intens dalam berkomunikasi dengan
teman-teman akrabnya yang memiliki sense
khusus di bidang psikologi. Walhasil, Bandler yang sudah terlanjur suka dengan
psikologi itu pun semakin tertarik untuk mendalami keunikan-keunikan yang
ditemukannya.
Selanjutnya,
secara diam-diam, Bandler mengadakan penelitian kecil-kecilan terhadap ketiga
ahli terapi terkenal pada saat itu. Di akhir penelitiannya, Bandler
menyimpulkan bahwa ketiga ahli terapi itu telah berhasil mempraktikkan
kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku unik yang menghasilkan prestasi luarbiasa.
Namun Bandler belum gegabah untuk mengomunikasikan hasil penelitiannya itu
kepada orang lain. Tidak disangka, Bandler semula masih ragu-ragu, akhirnya
tersentak dengan bukti nyata yang dihadapinya. Semua teman yang menjadi sasaran
praktiknya berhasil memberikan reaksi memukau bagi Bandler yang masih
menyembunyikan ilmunya itu. Selang beberapa waktu kemudian, Bandler bertemu
dengan seorang Profesor Linguistik bernama Dr. John Grinder. Bersama professor
peraih gelar Ph.d. Linguistik spesialis teori-teori linguistic Noam Chomsky
itu, Bandler menemukan rekan yang cocok dan memiliki kesamaan minat. Akhirnya,
keduanya pun sepakat untuk memadukan keahlian masing-masing dalam bidang
komputerisasi, bahasa, dan membuat model perilaku nonverbal manusia.
Untuk
memulai kerja sama, keduanya setuju untuk melakukan penelitian lebih serius terhadap
beberapa orang yang disepakati menjadi model, yaitu Virginia Satir, Gregory
Bateson, Dr. Milton Erickson, dan Dr. Fritz Perls. Setelah melewati sejumlah
observasi dan penelitian, Bandler dan Grinder pun menarik benang merah bahwa
keempat modelnya itu memiliki kesamaan pola dalam melakukan komunikasi.
Nah,
berdasarkan hasil penelitian itulah, kemudian lahir NLP. Sebagai catatan
sejarah, sebenarnya penemuan NLP tadi tidak lepas dari munculnya asumsi-asumsi
dasar yang dimiliki Bandler. Andai saja Bandler tidak menemukan asumsi-asumsi
dasar yang keluar dari kecurigaan-kecurigaanya itu, tidak menutup kemungkinan
NLP tidak akan pernah ditemukan oleh Bandler maupun Grinder.
